Parut Biru


Hi…hi…! Jadi Reporter!
Oktober 30, 2008, 12:16 am
Filed under: Tentang Training | Tag: ,

Kelompokku sedang latihan OMT

Apalagi latihan lanjutan? OMT alias One Minute Talk! Pendeknya, ngomong di depan kamera tak perlu lama-lama. Mesti hanya semenit? Ya…itu kan pengandaian. Boleh lebih, tapi sedikit saja! OMT ini dapat dilihat dalam tayangan seorang reporter yang melaporkan suatu berita, baik langsung atau tidak langsung. Saat melaporkan itu, reporter yang nongol di depan kamera tidak terlalu lama. Ah, jadi latihan jadi reporter? Tepat! Trus, apa saja yang dipersiapkan?

Pertama-tama, kami dibentuk dalam kelompok-kelompok lagi. Sebelum masuk dalam kelompok, setiap orang diberi tugas. Oleh Mbak Rini, tutor yang mendampingi kami, setiap orang boleh membawakan suatu topik tertentu yang nanti disampaikan di hadapan kamera dan direkam. Waaa…..jadi direkam ya? Iyalah! Nantinya, hasil itu akan dievaluasi bersama. Meski hanya latihan, namun tidak boleh main-main. Karena pada dasarnya demi perkembangan yang makin oke, maka topik yang hendak dibawakan pun perlu matang. Data itu mesti! Sumber itu penting. Makanya, setelah pengantar, kami diberi kesempatan untuk menyiapkan diri. Ada teman yang segera membaca koran, membaca buku di perpustakaan Puskat, ada yang browsing di internet dengan hapenya, dan macem-macem. Begitu semua siap, bahan itu harus diramu dalam sebuah draf kasar. Dalam draf ini, butir-butir yang hendak diomongkan ditulis dan kemudian dihafalkan. Uaduuhhhh…….! Bener-bener deh!

Siang hari, setelah makan, praktik OMT segera dilaksanakan. Setiap orang terbagi dalam kelompok yang sudah ditentukan. Aku satu kelompok dengan Pak Sugeng, Lars, Sus Sisca, dengan pendamping lapangan Mas Budi. Begitu semua lengkap berkumpul, setiap orang dalam kelompok kemudian berbagi tugas. Jika urutan pertama dia menjadi repoternya, maka yang lain bertugas menjadi juru kamera, sutradara, dan audioman! Juru kamera bertuga merekam. Sutradara bertugas mengarahkan reporter. Audioman bertugas mengatur suara/tata suara. Begitulah semuanya terbagi dengan adil.

Paling susah ya…menghafal butir-butir yang hendak diomongkan di depan kamera. Maka, ya…sedikit agak tidak mudah. Ada yang ingin belakangan saja karena belum hafal. Akhirnya, daripada tidak segera dimulai, aku menyanggupi untuk memulai saja. Latihan dulu, berkali-kali, kemudian direkam. Saat direkam saja, masih ada kesalahan, sehingga harus diulang. Aku membutuhkan dua kali pengambilan gambar. Pak Sugeng dua kali. Sus Sisca dan Lars sekali saja.

Masalahnya, ketika mulai pengambilan gambar Sus Sisca, hari mulai gelap. Padahal pengambilan gambar masih menggunakan arena di luar studio. Untunglah Mas Budi terus memberi pengarahan. Begitu gelap, kami diminta untuk mengambil lampu penerang di studio. Wahh…..ini sudah langsung prakti lighting dan tata suara! Ya…semuanya belajar malalui pekerjaan yang kami lakukan. Paling terakhir adalah Lars. Begitu malam tiba, bahan yang dia siapkan rupanya tak sesuai dengan situasinya. Lokasi pertama pengambilan gambar di ruang makan. Namun semakin lama ruang makan semakin ramai dengan teman-teman dan pendamping yang hendak makan malam. Maka harus dipindahkan. Akhirnya pindah ke dalam studio. Begitu pindah, topiknya harus ganti baru. Waaa……mesti menghafal lagi! Pusing dah Lars! Hampir putus asa. Syukurlah meski tersendat, tugas kelompok tetap selesai dan semua kebagian untuk akting di depan kamera!

Kepercayaan diri itu penting. Dalam situasi apapun, seseorang perlu memilikinya. Bahkan, hanya dalam sebuah simulasi atau ”bermain-main”, sikap itu tetap mutlak perlu, apalagi dalam sebuah kegiatan yang sesungguhnya. Selain itu, dengan bermain-main di depan kamera, aku menjadi mengerti bahwa tugas seorang pelapor ke hadapan khalayak umum memiliki tugas tidak ringan. Selain harus tampil meyakinkan, menarik, dan enak didengarkan laporannya, dirinya musti bisa mengkaji setiap data yang harus disampaikan. Inilah yang terkadang menjadi kendala untuk bisa tampil meyakinkan! Tapi ya….maju saja terus! Meski semua sudah mengalami akting, toh tak semua harus tampil di depan kamera. Mesti ada jatah tersendiri untuk setiap orang orang, sehingga dirinya menemukan talenta yang hidup di dalam dirinya. ***



Praktik Kamera…
Oktober 10, 2008, 3:21 am
Filed under: Tentang Training | Tag:

Dasar-dasar pengenalan kamera foto selesai. Bahan yang diberikan selanjutnya adalah pengenalan kamera video. Ternyata mengenal kamera foto itu memberi landasan bagi seseorang agar mampu mengoperasikan kamera video. Masalahnya, dalam mengoperasikan kamera video juga diperlukan kemampuan untuk merancang komposisi, memahami pandangan kamera, framing, dan pusat perhatian. Mas Yanto menyampaikan bahwa foto yang menarik adalah foto yang bisa memberi kesan yang dalam. Foto yang mampu membawa emosi penonton. Foto tentang keindahan, kegembiraan, kesedihan, kekejaman, dan sebagainya. Nah, bedanya dengan video hanyalah objek yang terekam itu bergerak. Pada dasarnya semuanya tetap harus memegan prinsip-prinsip kamera, baik foto maupun video.

Kali ini, Pak Darman memberi banyak pengenalan tentang kamera video. Jika sudah memasuki tahap ini, berarti kami sudah mulai dikenalkan dengan sinematografi. Ini secara umum diartikan bahwa dalam sinematografi seseorang belajar bagaimana membuat gambar bergerak, seperti apakah gambar-gambar itu, bagaimana merangkai potongan-potongan gambar yang bergerak menjadi rangkaian gambar yang mampu menyampaikan maksud tertentu atau menyampaikan informasi atau mengkomunikasikan suatu ide tertentu. Dalam bagian ini, mulailah dikenalkan arti-arti tertentu dalam bidang sinematografi, misalnya shot, scene, sequence, camera angle, cutting, dan istilah-istilah lainnya.

Pak Darman kemudian mengantar pengenalan kamera televisi. Ya…ini penting! Karena kamera inilah yang nantinya akan digunakan untuk seluruh acara training. Kamera itu terdiri dari tiga bagian utama yaitu lensa, kepala kamera, dan viewfinder. Ketiga hal ini adalah pemahaman dasar agar seseorang mampu menguasai kamera televisi.

Setelah dijelaskan panjang lebar, latihan berikutnya adalah menyusun suatu ”camera script”. Camera script ini digunakan sebagai pegangan seseorang untuk mengambil gambar. Tidaklah mungkin seseorang pergi ke suatu acara tanpa menyiapkan camera script ini. Jika dilupakan, akan banyak gambar yang diambil tanpa pemikiran terlebih dahulu dan bisa-bisa terbuang percuma. Oleh karena itu, jika sudah memiliki alur cerita yang hendak disusun, itu kemudian dipindahkan ke bentuk camera script ini. Misalnya, akan merekam tindakan orang mencuci piring. Alur ceritanya adalah kegiatan mencuci piring. Kegiatan mencuci piring kemudian diubah ke camera script menjadi beberapa shot. Ah, sulit amat membayangkannya!

Agar tak sulit membayangkan, kemudian kami diberi kesempatan untuk langsung mempraktikkan camera script yang sudah kami buat. Dalam praktik kamera ini, aku menjadi satu kelompok dengan Pak Sugeng, Fikri, Sus Sisca dan didampingi oleh Mas Hari. Apa saja yang kami siapkan? Pak Sugeng menyiapkan adegan orang berdoa, Fikri menyiapkan adegan orang ”kebelet” ke wc, Sus Sisca menyiapkan adegan orang mencuci piring, dan aku menyiapkan adegan seseorang mengambil ember di halaman.

Praktik pertama adegan orang mencuci piring. Sutradara Sus Sisca, juru kamera Fikri, clipper aku, dan talent Pak Sugeng. Tugas clipper adalah pencatat adegan dan talent adalah seseorang yang mendapat tugas sebagai tokoh yang memperagakan adegan tersebut. Nah…., untuk mendapatkan adegan mencuci piring, Sus Sisca tentu tak sekedar menggambar satu camera script. Dia telah menyiapkan beberapa gambar yaitu 1) gambar talent berjalan ke dapur, 2) gambar talent menuju ke tempat cucian, 3) gambar talent memegang piring kotor, 4) gambar talent memutar kran, 5) dan seterusnya. Gambar-gambar ini dipakai untuk acuan pengambilan gambar. Tentu saja, setiap shot itu berbeda-beda, agar mendapat hasil yang bagus. Misalnya, ada shot close up wajah talen, tangan mencuci piring, shot medium long shot talent, dan macam-macam! (Uh…..mana istilahnya sulit-sulit, lagi!)

Dalam adegan-adegan lain, hal itu juga berlaku. Tentu saja latihan praktik ini tidaklah langsung berjalan dengan baik. Selain harus bisa membuat camera script, aku dan kawan-kawan juga harus menguasai kameranya. Kapan harus memfokuskan objek; kalau gambar kabur, apa yang yang harus diatur; kapan harus mengurangi tinggi tripod (penyagga kamera), dan sebagainya.

Praktik kamera ini dilakukan dari pagi lebih kurang pukul 10.00 sampai dengan makan siang. Sorenya, segala hasil rekaman adegan ditampilkan untuk diberi evaluasi. Ah, ternyata macam-macam adegan yang dihasilkan oleh teman-teman. Ada adegan mencuci pakaian, adegan menulis surat, penjaga mengantuk di ruang jaga, salah parkir, memotret bunga teratai, santai di taman, dikejar hantu, dan macam-macam. Hasilnya pun lebih bermacam-macam! Boleh dibilang acakadulnya bikin geli seluruh peserta. Sayang sekali praktik kamera ini hasilnya tidak diberikan pada peserta training.

Di sinilah bentuk kerja sama dengan orang lain semakin terasa. Kelemahan dan kelebihan teman akan semakin tampak. Pada saat ini, dibutuhkan sikap memahami orang lain, terlebih semuanya masih dalam taraf sama-sama belajar. Kalau sikap saling memahami ini tak diberi tempat, bisa jadi seseorang akan merasa paling bisa atau paling tidak bisa. Kerja sama pun bisa-bisa batal dipraktikkan! Emangnya, membuat film itu bisa dikerjakan sendiri?***